Minggu, 10 Mei 2009

Pelajaran dari Guru Tanpa Kelas

Cita-citanya menjadi seorang guru, tetapi nasib membawanya menjadi seorang yang duduk lumpuh di pinggir jalan menanti uluran kasih orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Tangannya tak pernah berhenti menadahkan harapan untuk sesuap nasi di hari-harinya.

Ada beberapa orang yang menunduk menyodorkan recehan untuknya dan diterimanya dengan hormat dan riang hati. Ada juga yang melemparkan recehan logam dan menggelinding di antara langkah kaki orang-orang di belakang si pelempar. Dia merangkak menggapai uang tersebut sambil berterima kasih kepada si hati mulia yang telah dengan rela melemparkannya.

Debu yang berterbangan di antara asap knalpot mobil yang lalu-lalang tidak pernah membuatnya takut bahwa paru-parunya akan bermasalah. Dia tidak lagi memikirkan paru-parunya akan sakit, karena saat ini dia sedang sakit. Yang penting baginya adalah bisa makan untuk hari ini.

Tiba-tiba di sampingnya berjongkok seorang anak muda berpakaian rapi menyapanya,
“Pak, saya haus dan ingin beli minuman dingin tapi uang saya tidak cukup. Boleh nggak saya minta uang Bapak untuk menambah uang saya membeli minuman?”
Dia tatapi si pemuda dengan senyum kecil tanpa suara. Tangan tuanya yang keriput dan kotor merogoh sajunya dan memberikan beberapa keping recehan. Si pemuda menerimanya dan langsung pergi tanpa ucapan terima kasih. Ditatapnya punggung si pemuda sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian si pemuda kembali dan berjongkok di sampingnya, sambil memegang tangannya dan mengusapnya dengan air muka yang bangga.
“Kenapa Bapak memberikan uang Bapak kepada saya?”
“Saya kasihan melihat kamu kehausan. Saya sudah biasa lapar dan haus, makanya saya tahu apa yang kamu rasakan”, jawabnya dengan gagap.

Si pemuda memeluknya dan menyodorkan uang 1 juta rupiah dan menuntunnya berdiri. “Saya tidak haus, Pak. Saya hanya ingin mengetahui apakah orang-orang seperti Bapak peduli kepada orang lain. Saat ini Bapak sedang mengudara di TV Nasional untuk suatu acara. Bapak adalah guru di kelas dunia ini. Terima kasih Pak!”

Dan keduanya tersenyum damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar