Minggu, 19 April 2009

Hidup Masih Berjalan dan Kegagalan Pasti Berakhir

Sejak suami saya meninggal dunia, saya memulai kehidupan dengan kekecewaan terhadap gereja, yang rasanya telah membiarkan kami, tetapi saya tidak kecewa pada Tuhan. Saya justru bergantung pada-Nya dengan segenap hati dan berharap pada kemurahan-Nya, serta berusaha mengajarkan kepada anak-anak saya bahwa sekalipun gereja meninggalkan kami, tetapi Tuhan selalu akan bersama kami.

Di kota hijau yang sejuk satu keluarga muda yang telah menjadi anak Tuhan menjadi tetangga kami. Dari mereka saya belajar hal-hal rohani yang menuntun saya memahami bahwa keselamatan hanya oleh anugerah Tuhan Yesus. Pemahaman ini begitu mempengaruhi saya sehingga saya berusaha membagikan kepada saudara-saudara saya yang lain. Saya begitu rindu agar keluarga saya, terutama anak-anak saya mengasihi mereka.

Perubahan status dari hamba dosa menjadi hamba Allah memang tidak serta merta mengubah kehidupan kami sekeluarga. Kehidupan tanpa suami dan ayah begitu menekan saya dan anak-anak saya. Tetapi kami telah hidup dan itu berarti kami harus tetap bertarung dalam hidup. Saat suami saya masih hidup dia selalu berapi-api berbicara tentang masa depan dan membenci kegagalan. Sekarang tanpa dia saya harus tetap hidup. Saya memang tidak lagi dapat meminta petunjuk dari suami saya atau berkomunikasi dengannya, tetapi saya berkomunikasi dengan Tuhan saya melalui doa.

Setiap doa adalah getar hidup saya dan anak-anak saya sebagai penyerahan kepada Tuhan agar dibentuk sesuka hati-Nya. Kadang doa yang dipanjatkan adalah sinyal tanpa kata tapi penuh airmata. Kadang tanpa rasa dan makna tapi penuh penyerahan karena saya terkulai dalam keletihan hari-hari saya. Memang kerinduan yang kuat agar anak-anak berserah kepada Tuhan sering menimbulkan kekecewaan dalam hati saya. Saya merasa tidak dapat lagi memeluk mereka dan berdoa bersama dalam pergumulan hidup kami. Tetapi ketika saya berkumpul dengan mereka, saya bahagia melihat mereka saling berbagi cerita. Saya juga bahagia melihat cucu-cucu saya berbinar ceria menatap hari yang menyelimuti mereka dengan warna-warni kehidupan. Rasanya inilah harta berharga yang Tuhan taruh dalam segenap pori-pori jiwa saya.

Ketika saya sendirian dan mulai menghitung hari-hari saya, saya kembali dibungkus perasaan gagal, tetapi bersamaan dengan perasaan itu, saya tahu bahwa Tuhan Yesus di dekat saya dan menatap saya dengan kelembutan kasih-Nya, seolah berbisik, “Engkau belum gagal karena hidup masih berjalan dalam kehidupan dan Akulah jalan kebenaran dan hidup itu”. Memahami ini, saya menjadi kuat karena saya belum gagal dan hidup belum berakhir.

Melihat pergumulan anak-anak saya adalah melihat luka dalam hati saya. Saya menjerit, memohon Tuhan menjamah mereka agar menjadi milik Tuhan dan memberikan mereka kemampuan mengatasi masalah hidup mereka. Tetapi pada saat menjerit itu saya sadar bahwa mereka harus melewati banyak pergumulan agar mereka tahu mereka tidak sendirian dan belum gagal karena hidup masih berjalan.

Saya tahu anak-anak saya juga menjerit kepada Tuhan ketika saya mengalami masalah demikian juga cucu-cucu saya melakukan hal yang sama terhadap orang tua mereka. Kadang kala saya merasa cucu-cucu saya lebih memahami penyerahan kepada Tuhan daripada saya sendiri. Karena pengajaran Tuhan bahwa hidup masih berjalan dan kegagalan pasti berakhir selalu menghibur saya dan saya tidak akan menyerah. (Oma C)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar